Dalam ilmu fara'idh, terdapat istilah At-Tarikah. Menurut bahasa, artinya barang peninggalan mayit. Adapun menurut istilah, ulama berbeda pendapat. Sedangkan menurut jumhur ulama ialah, semua harta atau hak secara umum yang menjadi milik si mayit. Lihat Fiqhul Islam Wa Adillatih 8/270.
Muhammad bin Abdullah At-Takruni berkata: "At-Tarikah ialah, segala sesuatu yang ditinggalkan oleh mayit, berupa harta yang ia peroleh selama hidupnya di dunia, atau hak dia yang ada pada orang lain, seperti barang yang dihutang, atau gajinya, atau yang akan diwasiatkan, atau amanatnya, atau barang yang digadaikan, atau barang baru yang diperoleh sebab terbunuhnya dia, atau kecelakaan berupa santunan ganti rugi." Lihat kitab Al-Mualim Fil Fara'idh hal.119.
Adapun barang yang tidak berhak diwaris, diantaranya:
Semua barang peninggalan mayit bukan berarti mutlak menjadi milik ahli waris, karena ada hak lainnya yang harus diselesaikan sebelum harta peninggalan tersebut dibagi. Hak-hak yang harus diselesaikan sebelum harta waris tersebut dibagi ialah sebagai berikut:
Jika empat perkara di atas telah ditunaikan, dan ternyata masih ada sisa hak milik si mayit, maka itu dinamakan Tarikah atau bagian bagi ahli waris yang masih hidup. Dan saat pembagian harta waris, jika ada anggota keluarga lainnya yang tidak mendapatkan harta waris ikut hadir, sebaiknya diberi sekedarnya, agar dia ikut merasa senang, sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 8.
Dalam sistem waris Islam, tidak semua orang bisa mendapatkan harta waris. Ketentuan Allah I yang Maha Adil memilih orang-orang yang berhak mendapatkan harta waris tersebut, termasuk lelaki dan perempuan.
Orang-orang yang berhak mendapatkan harta waris dari kalangan laki-laki adalah:
Jika diandaikan semuanya terkumpul dalam satu masalah waris, maka yang berhak mendapatkan harta waris dari mereka adalah anak lelaki, bapak, dan suami.
Sedangkan orang-orang yang berhak mendapatkan harta waris dari kalangan perempuan adalah:
Jika diandaikan semua ahli waris tersebut baik dari kalangan lelaki maupun perempuan terkumpul dalam satu masalah waris, maka yang berhak mendapatkan harta waris adalah bapak, anak lelaki, suami atau istri, ibu, dan anak perempuan.
Cara perwarisan dari masing-masing ahli waris terbagi menjadi empat macam:
Mereka yang mewarisi dengan cara fardh saja. Jumlahnya ada tujuh orang:
Mereka yang mewarisi dengan cara ta'shib saja. Jumlahnya ada dua belas orang:
Mereka yang terkadang mewarisi dengan cara fardh, terkadang pula dengan cara ta'shib. Jumlahnya ada dua:
Mereka yang terkadang mewarisi dengan cara fardh dan terkadang pula dengan cara ta'shib, namun tidak bisa menggabungkan antara keduanya. Jumlahnya ada empat:
(Lihat Al-Fawaidul Jaliyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah karya Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, hal. 13, program Al-Maktabah Asy-Syamilah II)
A. Definisi al-Hujub
Al-hujub dalam bahasa Arab bermakna 'penghalang' atau 'penggugur'. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:
"Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka" (al-Muthaffifin: 15)
Yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum kuffar yang tidak dapat melihat Tuhan mereka di hari kiamat nanti.
Al-hujub juga bermakna 'tukang atau penjaga pintu', seseorang yang menghalangi orang untuk masuk ke tempat tertentu.
Dalam konteks warisan, al-hujub adalah menggugurkan hak ahli waris untuk menerima warisan, baik seluruhnya maupun sebagian, karena ada yang lebih berhak.
B. Macam-macam al-Hujub
Al-hujub terbagi menjadi dua:
Jenis-jenis al-Hujub bi asy-syakhshi:
Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman
Enam orang ahli waris yang tidak mungkin terkena hujub hirman: anak kandung laki-laki, anak kandung perempuan, ayah, ibu, suami, dan istri.
Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman
Sebelas ahli waris laki-laki dan lima ahli waris perempuan dapat terkena hujub hirman. Beberapa contohnya adalah:
C. Tentang Kasus Kolektif
Kasus kolektif atau "musytarakah" adalah ketika saudara kandung dan saudara seibu mendapat hak waris yang sama, walaupun kaidah aslinya berbeda. Pendapat ulama terbagi menjadi dua mengenai kasus ini, satu pihak mengikuti kaidah asli sementara yang lain mengkolektifkan hak waris.
Perbedaan Pendapat Para Fuqaha
Dalam kasus musytarakah, ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha: Mazhab Hanafi dan Hambali menggugurkan hak saudara kandung, sedangkan Mazhab Maliki dan Syafi'i mengkolektifkan hak mereka.
Kesimpulan
Dalam faraid, al-hujub adalah konsep penting yang menentukan siapa yang berhak menerima warisan dan siapa yang terhalang. Kasus-kasus musytarakah menunjukkan fleksibilitas hukum Islam dalam menghadapi situasi yang kompleks.
Ar-radd dalam bahasa Arab berarti 'kembali/kembalikan' atau 'berpaling/palingkan'. Contoh dalam Al-Qur'an:
"Musa berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula." (al-Kahfi: 64)
"Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan ..." (al-Ahzab: 25)
Dalam doa: "Allahumma radda kaidahum 'annii" (Ya Allah, palingkanlah/halaulah tipu daya mereka terhadapku).
Ar-radd menurut ulama faraid: berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya jumlah bagian ashhabul furudh. Ar-radd kebalikan dari al-'aul.
Ar-radd dapat melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali suami dan istri. Ahli waris yang bisa menerima ar-radd:
Ahli waris dari ashhabul furudh yang tidak bisa menerima ar-radd hanyalah suami dan istri, karena kekerabatan ini terputus karena kematian.
Jika ahli waris hanya terdiri dari sahib fardh dengan bagian yang sama dan tidak ada suami atau istri, pembagian berdasarkan jumlah ahli waris.
Jika ada bagian ahli waris yang beragam dan tidak ada suami atau istri, pembagian dihitung dari nilai bagiannya, bukan per kepala.
Jika semua ahli waris dari sahib fardh yang sama dengan suami atau istri, pokok masalah diambil dari sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan.
Jika terdapat ashhabul furudh yang beragam bagiannya dengan suami atau istri, masalah dibuat dalam dua ilustrasi dengan diagram untuk solusi.
Menurut istilah fuqaha, Al-'Aul bermakna bertambahnya jumlah ashlul masalah dan berakibat berkurangnya nashib (bagian) dari para ahli waris. Hal ini terjadi dikarenakan semakin banyaknya ashhabul furudh, sehingga harta waris habis dibagi, sementara ada ahli waris yang belum menerima bagian.
Menurut sejarahnya, di masa Rasulullah sampai masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a, belum muncul kasus 'aul (penambahan) dalam persoalan pembagian waris. Permasalahan 'aul pertama kali muncul pada masa khalifah Umar bin Khathab r.a.
Seorang pria wafat, meninggalkan istri, lima anak perempuan, ayah dan ibu. Berdasarkan QS. An Nisa' (4) ayat 11-12, didapat pembagian sebagai berikut:
Dalam kasus ini, ashlul masalahnya adalah 24, yang di-'Aul-kan menjadi 27. Diperoleh hasil sebagai berikut:
Total keseluruhan: 27 bagian
Karena ada 5 anak perempuan, maka agar mudah dibagi, total bagian (27) dikalikan dengan jumlah per kepala anak: 27 x 5 = 135 bagian. Maka perhitungan warisnya terbagi atas 135 bagian, dengan pembagian sebagai berikut:
Wallahu a'lamu bishshawab