Dalam ilmu fara'idh, terdapat istilah At-Tarikah. Menurut bahasa, artinya barang peninggalan mayit. Adapun menurut istilah, ulama berbeda pendapat. Sedangkan menurut jumhur ulama ialah, semua harta atau hak secara umum yang menjadi milik si mayit. Lihat Fiqhul Islam Wa Adillatih 8/270.

Muhammad bin Abdullah At-Takruni berkata: "At-Tarikah ialah, segala sesuatu yang ditinggalkan oleh mayit, berupa harta yang ia peroleh selama hidupnya di dunia, atau hak dia yang ada pada orang lain, seperti barang yang dihutang, atau gajinya, atau yang akan diwasiatkan, atau amanatnya, atau barang yang digadaikan, atau barang baru yang diperoleh sebab terbunuhnya dia, atau kecelakaan berupa santunan ganti rugi." Lihat kitab Al-Mualim Fil Fara'idh hal.119.

Adapun barang yang tidak berhak diwaris, diantaranya:

  1. Peralatan tidur untuk isteri dan peralatan yang khusus bagi dirinya, atau pemberian suami kepada isterinya semasa hidupnya. Lihat Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta 16/429.
  2. Harta yang telah diwakafkan oleh mayit, seperti kitab dan lainnya. Lihat Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta 16/466.
  3. Barang yang diperoleh dengan cara haram, seperti barang curian, hendaknya dikembalikan kepada pemiliknya, atau diserahkan kepada yang berwajib. Lihat keterangannya di dalam kitab Al-Muntaqa Min Fatawa, Dr Shalih Fauzan 5/238.

Semua barang peninggalan mayit bukan berarti mutlak menjadi milik ahli waris, karena ada hak lainnya yang harus diselesaikan sebelum harta peninggalan tersebut dibagi. Hak-hak yang harus diselesaikan sebelum harta waris tersebut dibagi ialah sebagai berikut:

  1. Mu'nat Tajhiz Atau Perawatan Jenazah: Kebutuhan perawatan jenazah hingga penguburannya. Misalnya meliputi pembelian kain kafan, upah penggalian tanah, upah memandikan, bahkan perawatan selama dia sakit. Semua biaya ini diambilkan dari harta si mayit sebelum dilakukan hal lainnya. Berdasarkan perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: وَكَفْنُوهُ فِي تَوْبَيْهِ (Dan kafanillah dia dengan dua pakaianya). [Hadits Riwayat Bukhari 2/656, Muslim 2/866]
  2. Al-Huquq Al-Muta'aliqah Bi Ainit Tarikah: Hak-hak yang berhubungan dengan harta waris. Misalnya barang yang digadaikan oleh mayit, hendaknya diselesaikan dengan menggunakan harta si mayit sebelum hartanya diwaris. Bahkan menurut Imam Syafi'i, Hanafi, dan Malik, didahulukan hak ini sebelum kebutuhan perawatan jenazah, karena berhubungan dengan harta si mayit. Lihat Fiqhul Islami wa Adillatihi 8/274. Dalilnya ialah, karena perkara ini termasuk hutang yang harus diselesaikan oleh si mayit sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nisa ayat 12, yaitu: "Sesudah dibayar hutangnya."
  3. Ad-Duyun Ghairu Al-Muta'aliqah Bit Tarikah: Hutang si mayit. Apabila si mayit mempunyai hutang, baik yang berhubungan dengan berhutang kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, seperti membayar zakat dan kafarah, atau yang berhubungan dengan anak Adam, seperti berhutang kepada orang lain, pembayaran gaji pegawainya, barang yang dibeli belum dibayar, melunasi pembayaran, maka sebelum diwaris, harta si mayit diambil untuk melunasinya. Dalilnya ialah: مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ "Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi madharat (kepada ahli waris)." [An-Nisa: 12]
  4. Tanfidzul Wasiyyah: Menunaikan wasiat. Sebelum harta diwaris, hendaknya diambil untuk menunaikan wasiat si mayit, bila wasiat itu bukan untuk ahli waris, karena ada larangan hal ini, dan bukan wasiat yang mengandung unsur maksiat, karena ada larangan mentaati perintah maksiat. Wasiat ini tidak boleh melebihi sepertiga, karena merupakan larangan. Dalilnya, lihat surat An-Nisa ayat 12 yaitu: "Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat."

Jika empat perkara di atas telah ditunaikan, dan ternyata masih ada sisa hak milik si mayit, maka itu dinamakan Tarikah atau bagian bagi ahli waris yang masih hidup. Dan saat pembagian harta waris, jika ada anggota keluarga lainnya yang tidak mendapatkan harta waris ikut hadir, sebaiknya diberi sekedarnya, agar dia ikut merasa senang, sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 8.

Dalam sistem waris Islam, tidak semua orang bisa mendapatkan harta waris. Ketentuan Allah I yang Maha Adil memilih orang-orang yang berhak mendapatkan harta waris tersebut, termasuk lelaki dan perempuan.

A. Ahli Waris Laki-laki

Orang-orang yang berhak mendapatkan harta waris dari kalangan laki-laki adalah:

  1. Anak lelaki
  2. Cucu lelaki dari anak lelaki, dan seterusnya dari keturunannya yang lelaki
  3. Bapak
  4. Kakek (dari pihak bapak) dan ke atasnya dari jalur lelaki
  5. Suami
  6. Saudara lelaki sekandung
  7. Saudara lelaki sebapak
  8. Saudara lelaki seibu
  9. Anak lelaki dari saudara lelaki sekandung (keponakan), dan seterusnya dari keturunannya yang lelaki
  10. Anak lelaki dari saudara lelaki sebapak (keponakan), dan seterusnya dari keturunannya yang lelaki
  11. Paman (saudara bapak sekandung)
  12. Paman (saudara bapak sebapak)
  13. Anak lelaki dari paman/saudara bapak sekandung (sepupu), dan seterusnya dari keturunannya yang lelaki
  14. Anak lelaki dari paman/saudara bapak sebapak (sepupu), dan seterusnya dari keturunannya yang lelaki
  15. Seorang lelaki yang membebaskan budak (mu'tiq), dan ashabah-nya dari jenis 'ashabah bin-nafsi.

Jika diandaikan semuanya terkumpul dalam satu masalah waris, maka yang berhak mendapatkan harta waris dari mereka adalah anak lelaki, bapak, dan suami.

B. Ahli Waris Perempuan

Sedangkan orang-orang yang berhak mendapatkan harta waris dari kalangan perempuan adalah:

  1. Ibu
  2. Anak perempuan
  3. Cucu perempuan dari anak lelaki, dan seterusnya dari keturunan perempuan yang melalui jalur lelaki
  4. Nenek dari pihak ibu, dan ke atasnya dari jenis perempuan
  5. Nenek dari pihak bapak
  6. Ibunya kakek dari pihak bapak (buyut perempuan)
  7. Saudara perempuan sekandung
  8. Saudara perempuan sebapak
  9. Saudara perempuan seibu
  10. Istri, walaupun lebih dari satu
  11. Seorang perempuan yang membebaskan budak (mu'tiqah).

Jika diandaikan semua ahli waris tersebut baik dari kalangan lelaki maupun perempuan terkumpul dalam satu masalah waris, maka yang berhak mendapatkan harta waris adalah bapak, anak lelaki, suami atau istri, ibu, dan anak perempuan.

Cara Pewarisan Harta Waris

Cara perwarisan dari masing-masing ahli waris terbagi menjadi empat macam:

Pertama:

Mereka yang mewarisi dengan cara fardh saja. Jumlahnya ada tujuh orang:

  1. Ibu
  2. Anak lelaki ibu mayit (saudara lelaki seibu)
  3. Anak perempuan ibu (saudara perempuan seibu)
  4. Suami
  5. Istri
  6. Nenek dari pihak ibu
  7. Nenek dari pihak bapak.

Kedua:

Mereka yang mewarisi dengan cara ta'shib saja. Jumlahnya ada dua belas orang:

  1. Anak lelaki
  2. Cucu lelaki dari anak lelaki, dan seterusnya dari keturunannya yang lelaki
  3. Saudara lelaki sekandung
  4. Saudara lelaki sebapak
  5. Anak lelaki dari saudara lelaki sekandung (keponakan), dan seterusnya dari keturunannya yang lelaki
  6. Anak lelaki dari saudara lelaki sebapak (keponakan), dan seterusnya dari keturunannya yang lelaki
  7. Paman (saudara bapak sekandung) dan ke atasnya
  8. Paman (saudara bapak sebapak) dan ke atasnya
  9. Anak lelaki dari paman/saudara bapak sekandung (sepupu), dan seterusnya dari keturunannya yang lelaki
  10. Anak lelaki paman/saudara bapak sebapak (sepupu), dan seterusnya dari keturunannya yang lelaki
  11. Seorang lelaki yang membebaskan budak (mu'tiq)
  12. Seorang perempuan yang membebaskan budak (mu'tiqah).

Ketiga:

Mereka yang terkadang mewarisi dengan cara fardh, terkadang pula dengan cara ta'shib. Jumlahnya ada dua:

  1. Bapak
  2. Kakek.

Keempat:

Mereka yang terkadang mewarisi dengan cara fardh dan terkadang pula dengan cara ta'shib, namun tidak bisa menggabungkan antara keduanya. Jumlahnya ada empat:

  1. Anak perempuan, baik satu orang ataupun lebih
  2. Cucu perempuan dari anak lelaki, baik jumlahnya satu orang atau lebih
  3. Saudara perempuan sekandung, baik jumlahnya satu orang atau lebih
  4. Saudara perempuan sebapak, baik jumlahnya satu orang atau lebih.

(Lihat Al-Fawaidul Jaliyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah karya Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, hal. 13, program Al-Maktabah Asy-Syamilah II)

A. Definisi al-Hujub

Al-hujub dalam bahasa Arab bermakna 'penghalang' atau 'penggugur'. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:

"Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka" (al-Muthaffifin: 15)

Yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum kuffar yang tidak dapat melihat Tuhan mereka di hari kiamat nanti.

Al-hujub juga bermakna 'tukang atau penjaga pintu', seseorang yang menghalangi orang untuk masuk ke tempat tertentu.

Dalam konteks warisan, al-hujub adalah menggugurkan hak ahli waris untuk menerima warisan, baik seluruhnya maupun sebagian, karena ada yang lebih berhak.

B. Macam-macam al-Hujub

Al-hujub terbagi menjadi dua:

  • Al-hujub bil washfi (penghalangan karena sifat): Seseorang yang terhalang dari hak waris, misalnya karena membunuh pewaris atau murtad.
  • Al-hujub bi asy-syakhshi (penghalangan karena orang lain): Hak waris seseorang gugur karena ada yang lebih berhak.

Jenis-jenis al-Hujub bi asy-syakhshi:

  1. Hujub hirman: Menggugurkan seluruh hak waris seseorang, misalnya kakek terhalang oleh ayah, atau saudara terhalang oleh anak.
  2. Hujub nuqshan: Mengurangi hak waris seseorang, misalnya ibu yang seharusnya mendapat sepertiga menjadi seperenam karena pewaris memiliki anak.

Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman

Enam orang ahli waris yang tidak mungkin terkena hujub hirman: anak kandung laki-laki, anak kandung perempuan, ayah, ibu, suami, dan istri.

Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman

Sebelas ahli waris laki-laki dan lima ahli waris perempuan dapat terkena hujub hirman. Beberapa contohnya adalah:

  • Kakek terhalang oleh ayah.
  • Saudara kandung terhalang oleh ayah atau anak.
  • Cucu laki-laki terhalang oleh anak laki-laki.

C. Tentang Kasus Kolektif

Kasus kolektif atau "musytarakah" adalah ketika saudara kandung dan saudara seibu mendapat hak waris yang sama, walaupun kaidah aslinya berbeda. Pendapat ulama terbagi menjadi dua mengenai kasus ini, satu pihak mengikuti kaidah asli sementara yang lain mengkolektifkan hak waris.

Perbedaan Pendapat Para Fuqaha

Dalam kasus musytarakah, ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha: Mazhab Hanafi dan Hambali menggugurkan hak saudara kandung, sedangkan Mazhab Maliki dan Syafi'i mengkolektifkan hak mereka.

Kesimpulan

Dalam faraid, al-hujub adalah konsep penting yang menentukan siapa yang berhak menerima warisan dan siapa yang terhalang. Kasus-kasus musytarakah menunjukkan fleksibilitas hukum Islam dalam menghadapi situasi yang kompleks.

Ar-radd

Ar-radd dalam bahasa Arab berarti 'kembali/kembalikan' atau 'berpaling/palingkan'. Contoh dalam Al-Qur'an:

"Musa berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula." (al-Kahfi: 64)

"Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan ..." (al-Ahzab: 25)

Dalam doa: "Allahumma radda kaidahum 'annii" (Ya Allah, palingkanlah/halaulah tipu daya mereka terhadapku).

Ar-radd menurut ulama faraid: berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya jumlah bagian ashhabul furudh. Ar-radd kebalikan dari al-'aul.

Syarat-syarat Ar-Radd

  • Adanya ashhabul furudh
  • Tidak adanya 'ashabah
  • Ada sisa harta waris
Ahli Waris yang Berhak Mendapat Ar-Radd

Ar-radd dapat melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali suami dan istri. Ahli waris yang bisa menerima ar-radd:

  • Anak perempuan
  • Cucu perempuan keturunan anak laki-laki
  • Saudara kandung perempuan
  • Saudara perempuan seayah
  • Ibu kandung
  • Nenek sahih (ibu dari bapak)
  • Saudara perempuan seibu
  • Saudara laki-laki seibu
Ahli Waris yang Tidak Mendapat Ar-Radd

Ahli waris dari ashhabul furudh yang tidak bisa menerima ar-radd hanyalah suami dan istri, karena kekerabatan ini terputus karena kematian.

Macam-macam Ar-Radd
  1. Adanya ahli waris pemilik bagian yang sama, tanpa suami atau istri.
  2. Adanya pemilik bagian yang berbeda, tanpa suami atau istri.
  3. Adanya pemilik bagian yang sama, dengan suami atau istri.
  4. Adanya pemilik bagian yang berbeda, dengan suami atau istri.
Hukum Keadaan Pertama

Jika ahli waris hanya terdiri dari sahib fardh dengan bagian yang sama dan tidak ada suami atau istri, pembagian berdasarkan jumlah ahli waris.

Hukum Keadaan Kedua

Jika ada bagian ahli waris yang beragam dan tidak ada suami atau istri, pembagian dihitung dari nilai bagiannya, bukan per kepala.

Hukum Keadaan Ketiga

Jika semua ahli waris dari sahib fardh yang sama dengan suami atau istri, pokok masalah diambil dari sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan.

Hukum Keadaan Keempat

Jika terdapat ashhabul furudh yang beragam bagiannya dengan suami atau istri, masalah dibuat dalam dua ilustrasi dengan diagram untuk solusi.

Al-'Aul

Menurut istilah fuqaha, Al-'Aul bermakna bertambahnya jumlah ashlul masalah dan berakibat berkurangnya nashib (bagian) dari para ahli waris. Hal ini terjadi dikarenakan semakin banyaknya ashhabul furudh, sehingga harta waris habis dibagi, sementara ada ahli waris yang belum menerima bagian.

Sejarah Al-'Aul

Menurut sejarahnya, di masa Rasulullah sampai masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a, belum muncul kasus 'aul (penambahan) dalam persoalan pembagian waris. Permasalahan 'aul pertama kali muncul pada masa khalifah Umar bin Khathab r.a.

Contoh Kasus:

Seorang pria wafat, meninggalkan istri, lima anak perempuan, ayah dan ibu. Berdasarkan QS. An Nisa' (4) ayat 11-12, didapat pembagian sebagai berikut:

  • Istri mendapat 1/8 bagian
  • Lima anak perempuan mendapat 2/3 bagian
  • Ayah mendapat 1/6 bagian
  • Ibu mendapat 1/6 bagian

Dalam kasus ini, ashlul masalahnya adalah 24, yang di-'Aul-kan menjadi 27. Diperoleh hasil sebagai berikut:

  • Istri (1/8 x 24) = 3 bagian
  • 5 anak perempuan (2/3 x 24) = 16 bagian
  • Ayah (1/6 x 24) = 4 bagian
  • Ibu (1/6 x 24) = 4 bagian

Total keseluruhan: 27 bagian

Karena ada 5 anak perempuan, maka agar mudah dibagi, total bagian (27) dikalikan dengan jumlah per kepala anak: 27 x 5 = 135 bagian. Maka perhitungan warisnya terbagi atas 135 bagian, dengan pembagian sebagai berikut:

  • Istri = (3 bagian x 5) = 15 bagian
  • 5 anak perempuan = (16 bagian x 5) = 80 bagian (masing-masing anak mendapatkan 16 bagian)
  • Ayah = (4 bagian x 5) = 20 bagian
  • Ibu = (4 bagian x 5) = 20 bagian

Wallahu a'lamu bishshawab